BANGKA BELITUNG – Di balik kesan liar dan sering dianggap sebagai tanaman pengganggu, Resam ternyata menyimpan nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Melayu di Pulau Bangka.
Tanaman paku besar dengan nama ilmiah Dicranopteris linearis ini tidak hanya tumbuh subur di tebing-tebing lembap dan perbukitan, tetapi juga telah lama dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari hingga menjadi simbol adat.
Sejarawan sekaligus budayawan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, CECH, menjelaskan bahwa resam memiliki banyak jenis di Bangka, antara lain Resam Bulin, Resam Gajah, Resam Lilit, dan Resam Petentung. Masing-masing memiliki fungsi berbeda, mulai dari bahan kriya untuk membuat bubu, sirok, hingga sungkok atau kopiah resam yang menjadi ciri khas laki-laki Melayu.
“Resam bukan sekadar tumbuhan, tetapi juga menyatu dengan adat istiadat. Sungkok Resam misalnya, dipakai saat sholat, acara adat, hingga aktivitas sehari-hari. Itu menunjukkan kuatnya identitas kemelayuan di Bangka,” ungkap Elvian.
Selain dimanfaatkan sebagai kriya, resam juga memiliki khasiat obat tradisional, seperti obat cacing, kudis, hingga luka luar. Bahkan, ekstraknya bisa dijadikan herbisida alami untuk menghambat pertumbuhan gulma.
Menariknya, dalam bahasa Melayu kata resam berarti adat atau kebiasaan. Ungkapan lama berbunyi “Resam air ke air, resam minyak ke minyak” mencerminkan filosofi hidup masyarakat Melayu: cenderung berpihak pada bangsa atau kaum sendiri.
Kini, sungkok resam telah menjadi simbol kearifan lokal sekaligus identitas budaya yang diwariskan lintas generasi. Lebih dari sekadar tanaman liar, resam adalah penanda jati diri Melayu Bangka yang masih dijaga hingga sekarang.