Nasional

Jejak Sejarah: Pemusnahan Tanaman Gambir di Pulau Bangka, Strategi Politik dan Ekonomi Sultan Mahmud Badaruddin I

308
×

Jejak Sejarah: Pemusnahan Tanaman Gambir di Pulau Bangka, Strategi Politik dan Ekonomi Sultan Mahmud Badaruddin I

Sebarkan artikel ini

BANGKA, INDONESIA – Di balik kejayaan Pulau Bangka sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Nusantara, tersimpan kisah sejarah yang dramatis mengenai kebijakan pemusnahan tanaman gambir yang pernah diwajibkan penanamannya di era sebelumnya.

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724–1757), seorang penguasa Kesultanan Palembang Darussalam yang terkenal strategis dan penuh perhitungan.

Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, Pulau Bangka dikenal tidak hanya sebagai lumbung timah, tetapi juga sebagai penghasil rempah dan komoditas hutan lainnya seperti: Lada, Rotan, Damar, Gaharu, dan Kayu wangi dari jenis Gonstylus bancanus, yang bahkan lebih mahal dari gaharu Aqualiria di pasar Persia.

Namun, ketegangan politik internal mengancam kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin I. Saudaranya sendiri, Sultan Anom Alimuddin, memisahkan diri dan membentuk kekuatan di wilayah Koba, dibantu putranya Raden Klip dan sekutu kuatnya dari Makassar, Arung Mappala. Ketiganya membangun benteng-benteng strategis di Paku dan Tanjung Ular, menciptakan ancaman nyata terhadap kekuasaan Palembang atas Bangka.

Dalam catatan sejarawan Leonard Andaya, dua pertiga wilayah Bangka sempat berada di bawah kendali Sultan Anom dan Arung Mappala. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin I meminta bantuan militer dari VOC. Dengan kekuatan 5.000 tentara dan 130 kapal perang, pasukan VOC yang dipimpin Abraham Patras berhasil menghancurkan perlawanan tersebut pada tahun 1731. Namun, kemenangan itu tidak datang tanpa Harga. Sebagai imbalan atas bantuan militer, VOC menuntut bayaran penuh atas biaya perang dan syarat tambahan yang mengejutkan: Sultan harus menghentikan budidaya gambir dan memusnahkan seluruh tanaman gambir di Bangka.

Sejak saat itu, fokus eksploitasi ekonomi di Pulau Bangka berpindah sepenuhnya ke pertambangan timah yang lebih menguntungkan secara instan bagi VOC dan Kesultanan Palembang. Tanaman gambir, yang sebelumnya diwajibkan untuk ditanam pada masa Sultan Abdurrahman (1659–1706), secara sistematis dimusnahkan, menghapus jejak penting dari kebudayaan agraris pulau tersebut.

Peristiwa ini menjadi penanda penting dalam sejarah Bangka: sebuah keputusan strategis yang berakar dari tekanan politik dan intervensi kolonial, yang berdampak besar terhadap lanskap ekonomi dan budaya masyarakat lokal hingga berabad-abad kemudian.

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, sejarawan dan budayawan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, menilai peristiwa ini sebagai contoh nyata bagaimana politik dan ekonomi kolonial memengaruhi kebijakan agraria lokal.

“Gambir menjadi korban dari strategi pertahanan kekuasaan dan kalkulasi dagang VOC. Sayangnya, warisan tanaman lokal itu lenyap dari sejarah Pulau Bangka,” ujarnya.