BANGKA SELATAN – Meski pemerintah pusat telah menetapkan larangan pengangkatan tenaga honorer baru mulai 1 Januari 2025 sesuai amanat Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, namun realita di lapangan menunjukkan hal berbeda, khususnya di Kabupaten Bangka Selatan.
Pantauan Tim Pena mengungkap bahwa sejumlah sekolah dasar negeri di daerah ini masih tetap merekrut tenaga honorer, khususnya untuk mengisi kekosongan staf Tata Usaha (TU) dan staf lainnya. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Sutami, Kepala Bidang Sekolah Dasar sekaligus Manajer BOS Dinas Pendidikan Bangka Selatan.
“Rekrutmen honor sebenarnya bukan untuk tenaga baru, tapi sebatas mengganti guru atau staf yang sudah pensiun. Jadi tidak semua sekolah merekrut honorer baru,” jelas Sutami saat dihubungi. Selasa, 15 Juli 2025.
Menurutnya, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang termasuk dalam anggaran DAK nonfisik dapat digunakan untuk membayar honor tenaga pendukung di sekolah, namun dibatasi maksimal 20 persen dari total dana BOS yang diterima sekolah. Penggunaan dana ini juga mengacu pada juknis resmi dan tetap memperhatikan kemampuan masing-masing sekolah.
Kabupaten Bangka Selatan sendiri memiliki sekitar 23.000 siswa sekolah dasar negeri, dengan dana BOS per siswa mencapai Rp. 910.000 per tahun. Besaran gaji honorer pun bervariasi, bergantung pada kemampuan anggaran sekolah masing-masing.
“Biasanya honor tenaga TU atau perpustakaan berkisar antara Rp. 800.000 hingga Rp.1.500.000 per bulan,” ujar Sutami.
Meski demikian, kondisi ini menimbulkan pertanyaan soal kepatuhan daerah terhadap regulasi nasional. Pemerintah pusat telah menegaskan bahwa mulai tahun 2025 tidak ada lagi pengangkatan honorer baru, sebagai bagian dari reformasi sistem kepegawaian nasional. Namun celah regulasi seperti penggunaan dana BOS dan status BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) kerap dimanfaatkan untuk tetap melakukan perekrutan.
Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dan pusat dalam menyelaraskan kebijakan serta kebutuhan nyata di lapangan. Sebab di satu sisi, sekolah-sekolah kekurangan tenaga pendukung, namun di sisi lain regulasi pusat menegaskan larangan perekrutan baru. Hal ini tentu memerlukan kebijakan transisi yang lebih adaptif dan solutif agar pelayanan pendidikan tidak terganggu.





