BANGKA SELATAN — Fenomena wisuda yang merambah jenjang pendidikan anak sejak usia dini hingga SMA kini menjadi sorotan khususnya di daerah Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Sebagai informasi, jika dahulu wisuda hanya identik dengan kelulusan mahasiswa, kini seremoni tersebut menjalar hingga Taman Kanak-Kanak (TK), SD, SMP, bahkan SMA. Meski tampak semarak, banyak para warga mulai mempertanyakan urgensi dan dampak ekonomi dari tradisi ini.
Seremoni kelulusan yang dibungkus dalam bentuk wisuda lengkap dengan toga, panggung megah, dekorasi, dokumentasi profesional, hingga persewaan gedung dinilai menambah beban keuangan bagi orang tua siswa.
Dalam praktiknya, biaya yang dikeluarkan diduga bisa mencapai ratusan ribu hingga juta rupiah, tergantung dari konsep acara yang disepakati sekolah.
“Anak saya baru lulus, tapi iurannya membebani. Pasalnya, kondisi seperti sekarang ini banyak yang harus dibayarkan mengingat kebutuhan lainnya,” ungkap Fitri, salah satu orang tua di Toboali. Pada Rabu, 7 Mei 2025.
Kondisi ini menuai reaksi dari berbagai kalangan yang menilai kegiatan wisuda tidak sejalan dengan semangat pendidikan inklusif dan merata. Di daerah dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah seperti di Bangka Selatan, pengeluaran semacam ini justru memperbesar tekanan sosial dan finansial di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
Pemerhati pendidikan lokal, Narasumber (narsum) yang enggan disebutkan namanya menjelaskan bahwa pendidikan semestinya mengutamakan kualitas pembelajaran, bukan seremoni mewah yang tak berdampak langsung pada masa depan anak-anak.
“Wisuda di TK hingga SMA itu tidak wajib dan bukan indikator prestasi. Bila ingin perpisahan, cukup syukuran sederhana yang berfokus pada nilai kebersamaan dan refleksi belajar,” ungkapnya.
Masyarakat juga berharap agar pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan lebih aktif mengeluarkan regulasi yang membatasi praktik wisuda di luar pendidikan tinggi.
Selain itu, sekolah juga diminta untuk benar-benar mewakili suara wali murid, bukan sekadar menyetujui keputusan yang justru memperberat orang tua.
Gelombang komentar dari warganet pun terus bermunculan di media sosial Facebook (fb), banyak di antaranya menyuarakan penolakan terhadap seremoni tersebut.
“Jangan banyak bagai duit saro kini e, jenjang sekolah masih panjang. Jangan dak dipikir, inget laa ken bepiles pinggang, Aya ikan becarik ken duit, alung dibeli ken beras,” tulis salah satu pengguna Facebook dalam unggahan yang viral pekan ini.
Seruan untuk menghentikan tradisi perpisahan dari tingkat TK hingga SMA kini semakin kuat digaungkan. Masyarakat Bangka Selatan berharap sistem pendidikan kembali berpihak pada mendidik tanpa membebani.





